Genderang perang kontestasi politik 2024 sudah mulai ditabuh oleh para elite politik kita. Kian hari semakin nyaring memekakkan telinga. Segala peralatan perang sudah mulai disiapkan demi menggapai tahta dan duduk di kursi kekuasaan. Ibarat perang, baju-baju kebesaran sudah mulai dipakai dan panji-panji sudah mulai dikibarkan, pertanda bahwa perang akan segera digelar.
Demi menghimpun kekuatan dan mencapai keuntungan elektoral, berbagai cara dilakukan; dari bersolek cantik hingga menebar janji-janji manis menawarkan mimpi kesejahteraan. Jalanan mulai disesaki baliho-baliho senyum merekah para elite politik kita. Berbagai manuver politik dilakukan, sambil ongkang-ongkang kaki turun melakukan serap aspirasi.
Tak tanggung-tanggung, pemerintah gelontorkan dana sebesar Rp76 triliun rupiah untuk memenuhi kebutuhan kontestasi lima tahunan ini (lihat: detiknews, 18/5/2022). Dana yang jumlahnya cukup fantastis ini tentu diharapkan mampu menciptakan pemilu berkualitas dan melahirkan pemimpin dan para elite berintegritas.
Dana fantastis itu tentu haruslah berbanding lurus dengan kualitas pemilu. Semakin besar anggaran dana yang dihabiskan, maka haruslah semakin tinggi kualitas pemilu yang diselenggarakan. Karena keberhasilan pemilu tidak boleh semata dilihat dari lancarnya pemungutan dan penghitungan suara pada hari pelaksanaan, tetapi juga harus dilihat seberapa lancar proses pemilu itu terselenggara; dari tahapan pertama hingga yang terpilih dilantik.
Lancar tidaknya sebuah proses pemilu bisa diukur di antaranya dari seberapa guyub dan rukun masyarakat kita menghadapi pemilu. Ruang-ruang publik tidak lagi disesaki oleh hoax, fitnah dan adu domba, sebagai penyuluh sumbu konflik horizontal di antara satu pendukung dengan pendukung yang lain, sebagaimana terjadi pada pilkada DKI Jakarta 2017 dan pemilu 2019 kemarin.
Sebagaimana kita mafhum, bahwa pilkada DKI Jakarta 2017 dan pemilu 2019 merupakan pemilu yang dipenuhi dengan huru-hara politik serta pertengkaran-pertengkaran pilu yang memalukan antara satu kelompok pendukung dengan kelompok pendukung yang lain. Berbagai strategi dan isu dilancarkan dan dihembuskan dengan begitu kencangnya demi menjatuhkan lawan politiknya. Kampanye hitam menjadi sarapan kita, nyaris setiap saat.
Isu yang digunakan adalah isu-isu sensitif, yang mudah memantik api ketersinggungan dan kemarahan antar pendukung yang tersebar di seluruh penjuru negeri, dari sudut-sudut kota hingga pelosok desa. Misalnya, isu terkait suku, agama, ras dan antar golongan (sara).
Tentu kita masih ingat, bagaimana Ahok ditolak menjadi Gubernur DKI Jakarta karena ia seorang keturunan Cina, dan dihadang oleh demo yang berjilid-jilid karena dianggap menistakan Islam. Begitu juga sebaliknya, bagaimana Anies Baswedan dituduh sebagai pemecah belah NKRI karena dianggap menggunakan politik identitas dalam pilkada DKI 2017 kemarin.
Pagelaran pilkada DKI Jakarta 2017 bisa kita sebut sebagai pilkada termahal sepanjang sejarah pagelaran pilkada Jakarta. Tidak hanya kerugian materi yang diderita, tetapi juga moral bangsa ini tercabik-cabik oleh egoisme dan hasrat politik masing-masing kelompok yang berkepentingan. Tawuran opini untuk merebut simpati publik tak terhindarkan. Gentayangan di dunia maya tanpa jeda, juga dalam dunia keseharian kita.
Perkelahian politik semacam ini tidak berhenti pasca pilkada itu selesai, tetapi ia terus berdenyut, hidup dan berkembang hingga pilpres 2019 kemarin. Masyarakat terpolarisasi ke dalam dua kelompok pendukung capres-cawapres, yang menurut saya ekstrem dan beringas.
Saling tunjuk dan tuduh menuduh mewarnai perjalanan kedua kelompok pendukung ekstrem tersebut; yang satu menuduh yang lain radikal dan anti persatuan, dan sedangkan yang lain menuduh seterunya anti Islam dan anti ulama. Tak luput juga, yang satu mengolok-olok yang lain sebagai cebong dan sebaliknya, mengolok-olok yang lain sebagai kampret. Sehingga muncullah madzhab politik cebong dan kampret.
Perseteruan politik antara cebong dan kampret kemudian menjadi perseteruan paling masyhur dan akbar dalam sejarah perjalanan perpolitikan kita dewasa ini. Berasa tidak ada capeknya, kedua seteru ini terus saling serang dengan melemparkan isu-isu miring ke hadapan publik guna meraih simpati.
Ironisnya, perseteruan kedua madzhab politik cebong dan kampret ini tidak cukup pada tataran isu dan opini di media sosial, tetapi ia juga acapkali menyentuh ruang-ruang nyata kehidupan sosial masyarakat kita. Bahkan gegara saling ejek di media sosial di antara pendukung kedua capres-cawapres di Sampang, Madura harus meregang nyawa.
Perkelahian cebong dan kampret ini hanya menjadi polusi bagi terwujudnya demokrasi dan politik elektoral yang sehat dan bersih ke depan. Ia hanya memperlambat laju demokrasi, yang kian hari semakin menunjukkan trend negatifnya.
Masyarakat yang Ber-Tuhan
Di dalam masyarakat yang ber-Tuhan tentu perkelahian model cebong dan kampret ini tidak dihalalkan, apa pun alasannya. Alih-alih mencerminkan sikap berketuhanan, perkelahian yang didemonstrasikan justru perkelahian yang barbar dan binal, seperti adu domba, fitnah, penyebaran hoaks, menuduh yang lain PKI, anti Islam, pemecah belah NKRI dan tudingan-tudingan menjijikkan lainnya.
Secara tak kasat mata, pada hakikatnya kita telah mengamini dan mempraktikkan politik machivalianisme; politik menghalalkan segala cara. Yang terpenting bagi machivalian adalah tujuannya tercapai. Ihwal strategi dan taktiknya itu urusan belakangan. Model politik macam ini bertolak punggug dengan kondisi sosial politik masyarakat kita yang ber-Tuhan.
Dalam tulisan saya berjudul “Kematian Tuhan di Panggung Politik Kita”, terbit di jarrak.id (12/03/2018), saya menyebut perkelahian politik antar cebong dan kampret sebagai usaha membunuh Tuhan. Sehingga saya mengajukan satu kesimpulan, bahwa Tuhan telah mati di panggung politik kita.
Jika Tuhan telah mati di panggung politik kita selama ini, maka sebagai masyarakat politik yang ber-Tuhan wajib hukumnya menghidupkan Tuhan di Panggung politik kita ke depan, terlebih pemilu dan pilkada serentak sudah di depan mata.
Menghidupkan Tuhan berarti membumikan nilai-nilai ke-Tuhanan dalam keseharian politik kita. Hoaks, fitnah, adu domba dan tuduhan-tuduhan keji lainnya terhadap lawan politiknya tidak boleh lagi menjadi instrumen politik dalam setiap kontestasi meraih kekuasaan politik ke depan.
Sebaliknya, kontestasi lima tahunan ini haruslah menjadi ajang beradu gagasan dan unjuk konsep kepemimpinan, guna mewujudkan baldatun toyyibatun warabbun ghafur.