Obrolan di sela-sela zoom meeting dengan rekan-rekan kantor saya hari ini cukup menggelitik. Mereka yang perokok seolah menemukan oase setelah tiga minggu ini berkelana di tandusnya Sahara. Mengutip satu kalimat dari wakil ketua IDI, ya, satu kalimat saja. “Jika perokok yang terinfeksi tak mengeluarkan droplet (ketika merokok) tak menjadi masalah.”
Satu kalimat, dan lampu pun berubah hijau. Merokok jalan terus. Begitu kira-kira. Lagi pula bagi perokok sejati, merokok dapat membuat pikiran tetap waras, menjaga sanity. Hal itu perlu dalam kondisi serba susah seperti saat ini. Rekan lain menimpali, yang melarang-larang merokok itu tandanya anti nasionalis, di masa krisis begini sumber penerimaan negara terbesar dari cukai rokok.
Baiklah ini terdengar sebagai sebuah kelakar. Berada dalam masalah-masalah pelik memang rawan muncul ‘humor’. Humor tumbuh subur di suasana yang kontradiktif, di mana realitas tidak sesuai atau bahkan bertolak belakang dengan apa yang diidamkan. Rokok dan Covid-19, misalnya. Covid-19 tidak menyasar para perokok, yang menyasar para perokok adalah penyakit menular tuberkulosis, disingkat TB/TBC. Penyakit ini bisa menginfeksi hampir semua orang, dari segala usia. Di Indonesia, angka kasusnya semakin meningkat setiap tahun, menjadikan Indonesia sebagai negara ketiga kasus penderita TB tertinggi setelah India dan Cina. Lantas, apa yang membuat perokok menjadi rentan di masa pagebluk ini?
Salah satu orang hebat negeri ini, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Zubairi Djoerban, spesialis penyakit dalam mengatakan bahwa kebiasaan merokok meningkatkan risiko penularan infeksi Covid-19. Memperberat gejala dan meningkatkan risiko kematian.
Data pasien Covid-19 di Cina menyebutkan 16,9 persen pasien yang memiliki gejala berat dan 25,5 persen pasien yang masuk ICU serta meninggal dunia adalah perokok. Perokok memiliki risiko gejala berat 1,4 kali lipat dan 2,4 kali lipat masuk ICU serta meninggal dunia dibandingkan yang tidak merokok. Mengapa ini terjadi?
Melalui akun Twitter-nya, dr. Jaka Pradipta spesialis paru menjelaskan bahwa hal itu karena asap rokok merusak cilia yang ada di saluran pernapasan. Cilia adalah bulu halus yang berfungsi menangkap dan membawa mikroorganisme dan debu sebagai perlindungan awal di saluran pernapasan. Cilia akan bergerak membawa kuman dan kotoran di saluran pernapasan dalam bentuk sekret (dahak) ke arah atas untuk dibatukkan atau ditelan ke lambung. Cilia bekerja maksimal di malam hari. Hal ini dibuktikan saat pagi hari akan lebih banyak dahak yang kita keluarkan dan lebih kental. Terutama pada orang-orang yang merokok. Merokok, juga vaping akan mengiritasi saluran napas dan merusak cilia. Dindingnya akan meradang, dahak menjadi sulit dikeluarkan, perlindungan tubuh pun menjadi berkurang.
Ketika perlindungan tubuh menurun, virus dan bakteri akan mudah masuk ke saluran napas, menempel ke dalam sel, dan menyebar di dalam tubuh. Sehingga bukan hanya batuk pilek saja tapi gejala sesak napas dan demam akan terjadi. Paru perokok berwarna hitam, elastisitas berkurang dan rapuh. Sehingga bila terinfeksi virus Corona, gejalanya akan lebih berat dan sulit tertolong. Meski dengan bantuan alat ventilator sekalipun. Scientific American menyebutkan, perokok dan pengguna vape jangka panjang berisiko tinggi mengalami pengembangan kondisi paru-paru kronis dikaitkan dengan kasus Covid-19.
Pertanyaan para perokok semenjak virus ini merebak, apakah asap rokok yang keluar dari paru-paru seseorang yang terinfeksi Covid-19 bisa menular ke orang lain meski tak mengandung droplet? Belum ada penelitian spesifik menurut IDI. Serahkan pada akal sehat Anda.
Penulis adalah News Presenter BeritaSatuTV dan Tenaga Ahli DPR RI, Jakarta
Mahasiswi Program Doktor Ilmu Kriminologi UI
Baru-baru ini meluncurkan buku Kumpulan Cerpen; Apple Strudel
Chat Nastiti untuk informasi lebih lanjut melalui Twitter/Instagram @nastitislestari