Because the sky is blue
It makes me cry
~ The Beatles
Dua puluh sembilan kilometer lagi jarak yang harus kutempuh untuk tiba di Secang. Pemberhentian kedua sekaligus lokasi kami menginap malam ini. Suasana pedesaan selalu membuatku rindu. Kokok ayam telah menjadi barang mewah yang langka di tempat tinggalku di Holland Road, Singapura.
Pepohonan yang menjulang rimbun di sepanjang jalan raya Ambarawa-Magelang mendaratkan suasana senja meski saat ini baru jam …. Sialan, Garmin-ku mati tanpa permisi. Lamat-lamat kudengar bunyi tenor drum beradu dengan cymbal, pianika, dan …. Ini pasti drum band anak-anak sekolah. Semakin mendekati sumber suara itu, semakin menguap lelahku. Bagaikan Bhisma yang terbang ke kahyangan setelah dihujani panah oleh Arjuna. Merdeka. Aku tak lagi merasakan kaki kiriku yang hampir kram tadi.
Beberapa pelari yang tiba lebih dulu tampak tengah mengisap rokok putih mereka dalam-dalam. Ardi, sahabat semasa kuliah yang sejak semester satu selalu sekelas denganku menarikku mendekat, sambil menunjuk sebuah baliho. “Mau ketemu nggak sama orangnya? Doi tukang sampah. Nekat nyaleg. Keren nggak?!” Kakiku mendadak kram mendengar kalimatnya. Aku pura-pura meringis kesakitan, duduk di tanah, lurusin kaki, memanggil medik yang tergopoh-gopoh menghampiriku lengkap dengan tandu. “Eh buset, manja amat lo, Wis,” ujarnya sambil berlalu meninggalkanku. Selamat, aku tak perlu meladeni Ardi tentang caleg yang membuatnya kagum itu.
Bangkit menuju kamar, kulihat Ardi asyik mengobrol dengan Pak Sri, si caleg tukang sampah—begitu ia juluki dirinya.
“Saya ini ndak tahu apa-apa tentang politik, Mas. Ini makanya saya mau coba. Kalau terpilih nanti baru sambil belajar. Lebih baik ngaku kalau ndak tahu daripada sok tahu. Ya ndak, Mas?” jelas Pak Sri sambil tertawa.
“Tetapi, Bapak tahu tupoksinya DPRD, kan?” timpal Ardi. Kuperlambat langkahku untuk mendengar jawaban Pak Sri.
“Apa itu, Mas? Yang pro sana, pro sini, trus berantem-berantem itu, kan? Ndaklah, saya orangnya cinta damai, peace!” Sambil mengacungkan dua jari. Mereka terkekeh, orang-orang di sekitar mereka terkekeh, aku terkekeh, tetapi dalam hati. Tupoksi dia tak tahu, mungkin juga tak pernah dengar.
Malam menyapa Desa Pucang. Kami telah disuguhi berbagai hidangan panas, berkuah. Rasanya aku ingin langsung tidur saja. Remang-remang ini menawarkan ketenteraman. Semoga para caleg dengan cara kampanye yang aneh-aneh itu juga dapat beristirahat dengan tenteram malam ini.
***
Keesokan pagi.
“Good morning, sleepy head …,” wajah ayu membangunkan lelapku. Langsung kupeluk dan kuciumi mesra. Arlene, pesonanya tak pernah usai. Seluas aroma, senantiasa terbuka. “Surprise,” ucapnya pelan. Sayang sekali aku harus bergegas untuk menyelesaikan 28,8 kilometer track terakhir. Dan Arlene? Seharusnya menungguku dengan kamera DSLR-nya di garis finish, bukan di sini.
Pak Camat melepas para pelari dari balai desa. Satu malam di Secang yang melenakan. Secang, kenapa namanya Secang? Dulu ketika aku bayi, Eyang selalu memandikanku dengan air hangat campuran kayu secang, hingga airnya berubah merah. Supaya kuat, kekar, dan nggak gampang kena penyakit, kata ibu meniru kalimat Eyang. “Maaaass, jangan lupa bilang sama kenalannya yaaa, coblos saya, dijamin ada perubahan …!” teriak Pak Sri melepasku diiringi seribu harap. Kubalas dengan acungan jempol. Semoga sukses untukmu, Pak ….
“Wis, ngapain aja lo sama Arlene tadi?” Tiba-tiba Ardi muncul di sisi kananku. “Hayoo nggak bisa jawab, kan? It’s okay, aku cukup dengar suara kalian kok tadi. Awas kalau bikin nggak finish!” Hendak kuketok kepalanya, semakin kencang larinya, kukejar, di kejauhan tampak baliho caleg nyentrik, perhatianku teralih. Saatnya Seniman Muda untuk Maju. Foto sang caleg memegang gitar, bergaya metal dengan rambut gondrong ala Slash, gitaris GNR. Satu kilometer dari caleg Slash tampak baliho ukuran serupa. Dengan foto rambut punk, menyembul tinggi warna emas, tagline caleg itu Gaul Banget. Oh Tuhan, orang-orang ini yang kalau terpilih akan duduk di kursi-kursi legislator? Yang akan membentuk peraturan daerah dan mengawasi pelaksanaan undang-undang?
Benar kata guru besar sosiologiku. Jika kita terlalu lama berkubang dalam masalah-masalah busuk, maka rawan muncul ‘humor’. Humor tumbuh subur di suasana kontradiktif dan munafik. Di mana realitas tidak sesuai bahkan bertolak belakang dengan yang diharapkan. Pikiranku terus mengembara dengan bagaimana nasib bangsa ini pascapileg dan pilpres nanti. Siapa presiden, siapa saja anggota dewan di pusat dan daerah, partai mana saja yang lolos parliamentary threshold? Terdengar suara fanfare. Disusul letupan kembang api dan riuh rendah suara manusia. Lumbini Park, Borobudur telah sesak dengan teman-teman seangkatanku. Angkatan 97 perguruan tinggi sekota Semarang. MC meneriakkan namaku. Teman-teman berebut menyalamiku. Apakah aku finish pertama? Mataku melayang mencari satu sosok, hanya sosok itu, Ardi! Aku harus selesaikan urusanku dengannya.
TAMAT
Penulis adalah News Presenter BeritaSatuTV dan Tenaga Ahli DPR RI, Jakarta
Mahasiswi Program Doktor Ilmu Kriminologi UI
Baru-baru ini meluncurkan buku Kumpulan Cerpen; Apple Strudel
Chat Nastiti untuk informasi lebih lanjut melalui Twitter/Instagram @nastitislestari
Menyukai ini:
Suka Memuat...