WAWANCARA Presiden Prabowo Subianto dengan tujuh pemimpin redaksi media nasional awal pekan ini menyajikan sesuatu yang jarang: kejelasan visi, keberanian koreksi, dan keberpihakan yang konkret.
Presiden tak hanya menjawab isu-isu ekonomi yang hangat. Ia menunjukkan arah baru. Bukan lagi ekonomi yang hanya bertumpu pada konsumsi, tetapi bergerak menuju kemandirian.
Data BPS mencatat, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 53% terhadap PDB. Ini kekuatan sekaligus kelemahan. Karena daya beli masyarakat kita masih rapuh.
Presiden paham betul ini. Karena itu, ia dorong program Makan Bergizi Gratis (MBG), cek kesehatan gratis, dan 3 juta rumah rakyat. Bukan sekadar program sosial, tapi strategi mendorong daya beli dan membuka lapangan kerja. Inilah bentuk stimulus langsung ke jantung ekonomi.
Ini sesuai logika Keynesian: konsumsi rakyat mendorong permintaan agregat, yang bisa menstimulasi pertumbuhan secara cepat. Tapi Presiden tidak berhenti di sana.
Ia bicara soal hilirisasi yang lebih luas. Tak cuma nikel. Danantara, sebagai lembaga pembiayaan strategis, dibentuk untuk menopang proyek-proyek dengan nilai tambah tinggi. Dengan sumber pembiayaan yang tak selalu bergantung pada luar.
Di sinilah terlihat arah baru: dari konsumsi ke kemandirian. Dari subsidi langsung ke penciptaan ekosistem ekonomi nasional.
Reformasi Belanja Negara
Presiden juga mengoreksi belanja negara. Lebih dari Rp250 triliun dipangkas dari pos tak produktif. Termasuk perjalanan dinas, seminar, HUT instansi, hingga belanja alat tulis. Langkah ini berani dan perlu.
Uangnya dialihkan untuk renovasi sekolah, rumah rakyat, dan program-program nyata. Ini bukan penghematan semata. Ini pergeseran paradigma fiskal: dari seremonial ke substansi.
Di sisi keuangan, Presiden juga membaca situasi pasar dengan jernih. Ketika IHSG turun, ia tak panik. Ia justru mendorong BUMN untuk buyback saham. Fokusnya tetap pada Foreign Direct Investment (FDI), sebagai indikator kepercayaan jangka panjang.
Soal DHE (Devisa Hasil Ekspor), Presiden bersikap adil. Yang mendapat fasilitas negara wajib menyimpan DHE di dalam negeri. Yang tidak, bebas. Sikap ini tegas tapi rasional. Diplomasi dijalankan, tapi kedaulatan tetap dijaga.
Di bidang infrastruktur, arah baru juga ditunjukkan. Swasta diminta mengambil peran lebih besar. Pemerintah tetap hadir, tapi dengan efisiensi dan akuntabilitas yang lebih tinggi. Ini bukan pelepasan tanggung jawab, tapi penataan ulang peran negara.
Danantara dijaga agar tidak hanya jadi tempat menaruh uang. Presiden menekankan value creation dan impact economy. Ini penting. Sebab proyek besar tanpa manfaat langsung hanya akan menumpuk utang dan kekecewaan.
Semua ini menunjukkan bahwa strategi ekonomi Presiden bukan tambal sulam. Ini reposisi. Ini restrukturisasi besar-besaran cara negara bekerja dalam ekonomi.
Tantangan Eksekusi Nyata
Tapi kita tahu: strategi tanpa eksekusi adalah mimpi. Dan mimpi tanpa strategi adalah petaka.
Hari-hari ke depan adalah ujian kita semua. Apakah arah besar ini bisa dijaga, dijalankan, dan dijadikan lompatan sejarah? Atau justru akan tenggelam dalam jebakan klasik: lambat, ruwet, kehilangan fokus?
Rakyat tidak menunggu penjelasan panjang. Mereka ingin harga terjangkau, pekerjaan tersedia, dan masa depan bisa ditebak. Tugas kita adalah menyambungkan narasi besar negara dengan kebutuhan paling sederhana di rumah-rumah warga.
Kalau arah sudah jelas, tinggal pastikan semua bergerak. Yang birokrasi jangan lambat. Yang politisi jangan berpura-pura. Yang teknokrat jangan kaku.
Indonesia tak kekurangan harapan. Presiden Prabowo sebagai pemimpin sudah memberikannya. Tapi harapan hanya hidup jika visi Presiden dieksekusi secara cepat, konkret, dan menyentuh rakyat.
Di titik eksekusi-lah sejarah akan bicara: arah ini sungguh perubahan, atau sekadar menjadi wacana.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI; Menteri Ketenagakerjaan RI 2014-2019; Wakil Ketua Umum DPP PKB.
Menyukai ini:
Suka Memuat...