Baru saja saya menyadari, salah satu anggaplah seseorang kenalan saya tidak mengikuti balik akun Instagram saya. Padahal ketika di dunia nyata kami akrab, apalagi jika sedang mengunjungi ke Jakarta. Biasanya saya adalah salah satu orang yang berpartisipasi untuk mengajak dia jalan-jalan. Begitu pula sebaliknya ketika saya pergi ke kotanya.
Mengetahui fakta ini, reaksi pertama sempat kaget. Kok, bisa di dunia nyata baik-baik saja. Mengapa dia tidak mau berteman di dunia maya? Ha ha… Yang membuat saya lebih bingung lagi, mengapa hal sepele ini bisa mempengaruhi orang-orang yang biasa berinteraksi di media sosial? Salah satunya bahkan mempengaruhi diri sendiri.
Memang sekarang seperti suatu kebanggaan kalau mempunyai pengikut yang banyak di media sosial. Hal ini juga berlaku di Facebook, Twitter dan semacamnya. Kalau di Facebook memberi kesan mempunyai banyak teman, padahal ketika berpapasan, boro-boro menyapa, melihat mata saja tidak. Saya banyak mempunyai teman maya seperti ini. Bahkan sampai detik ini kami tidak pernah saling menyapa pada saat bertemu. Hebat, bukan, kekuatan media sosial mempengaruhi sifat seseorang?
Memang di dunia media sosial bisa mengubah kepribadian manusia sehingga jangan heran kita akan banyak menemukan orang yang ramah, penuh dengan senyuman dan tawa canda yang diungkapkan dalam ketikan kata-kata maupun berupa gambar emoticon.
Bagi pencari nafkah di media sosial, angka ini krusial. Karena pengikut yang banyak berarti semakin tinggi mereka mendapatkan pekerjaan. Jadi tidak jarang jika dalam suatu pertemuan sesama pencari rezeki dunia maya mereka membuat perjanjian untuk saling mengikuti satu sama lainnya.
Sempat saya mendengar curahan hati yang mengemukakan bahwa ada oknum-oknum yang ingkar janji. Perjanjian awalnya adalah kami saling mengikuti akun, beberapa lama kemudian para selebgram ini meng-unfollow alias melanggar perjanjian. Hayo, siapakah yang sering melakukan hal seperti ini? Soalnya ternyata saya termasuk orang yang sering terkena PHP macam ini. Tapi tidak perlu sakit hati, cukup bersihkan saja akun-akun para pengingkar janji. Ketika saya cek ada puluhan akun yang sudah terjaring di Instagram.
Memang akun saya belum banyak pengikutnya, tapi bisa dijamin tidak menggunakan jasa pembeli pengikut di media sosial. Kalau memang menyukai konten saya, silakan mengikuti. Lagi pula saya merasa isi konten saya bergizi, dijamin lemah dalam pamer-pamer swafoto dan pura-pura bahagia serta membagikan quote-quote orang-terkenal. Tapi lebih banyak memberikan informasi dan hiburan bagi yang membutuhkan. Maaf, numpang beriklan diri.
Sempat membaca status seseorang di Twitter, media sosial yang memfasilitasi para pengeluh dan penyinyir media sosial tapi dengan cara receh nan menghibur. Anggaplah si A, dia merasa bingung teman sekolahnya tidak mau mengikuti balik akun Instagramnya. Padahal ketika berinteraksi langsung tidak ada masalah, baik-baik saja bahkan akrab menurutnya. Jadi si A mengeluarkan ocehan lain kali ketika bertemu temannya akan memanggil dia dengan selebgram sembari mengajak foto bareng diakhiri dengan sebutan makian.
Yang menjadi perhatian saya sekarang, apakah dunia media sosial jadi lebih penting dibandingkan dengan realita. Lebih penting yang mana, mempunyai banyak teman di sini atau dalam kenyataan? Apakah kamu merasa lebih menghargai ucapan yang diketik dibandingkan disampaikan secara langsung?
Hal ini saya lemparkan kembali kepada pembaca. Pilih dunia maya atau di dunia nyata? Kalau saya, lebih baik punya sahabat sedikit di dunia nyata tapi mempunyai banyak followers di media sosial. Berhubung saya sedang meniti karier menjadi selebgram. Tolong kalau bertemu di dunia nyata, panggil saya si seleb, suka pesta sana sini tapi hanya di medsos (lihat arti kata selebrasi).
Semoga ocehan ini bermanfaat bagi para pembaca. Siapa tahu menginspirasi untuk mengikuti cita-cita saya sebagai selebgram yang sukses nan bergelimangan hura-hura.
Sekretaris berubah haluan menjadi Blogger dan Content Creator.
Menyukai ini:
Suka Memuat...