Puisi ibu Sukmawati adalah puisi pejuang seorang perempuan Indonesia, saya sebagai seorang perempuan, bangga serta salut dengan perjuangannya beliau, tentang gerakan keadilan budaya .
Puisinya yang sangat bagus. Ibu Sukmawati hendak menggemakan kembali wawasan Nasionalisme Bapaknya, Bung Karno, kalau sudah belajar dari budaya orang, jangan lupakan budaya sendiri. Jangan melupakan sejarah. Dominasi yang sangat berbahaya hari ini adalah dominasi budaya suatu bangsa atas bangsa lain. Celakanya, banyak orang Indonesia mau didominasi oleh orang lain. Akhirnya, tidak ada kebanggaan nasional, segalanya tergantung pada arahan orang luar, sampai pada hal berpakaian. Biopolitik. Tidak ada kepercayaan diri, yang ada hanya minder. Dan di antara para kaum minder, yang terjadi adalah kasak-kusuk, hujat-menghujat, dan saling benci. Kasihan banget ya. Bangsa dan Negara lain sibuk berprestasi menyumbangkan yang terbaik bagi peradaban dunia, kita saling cakar- cakaran.
Lihatlah bangsa-bangsa besar, mereka tidak pernah meninggalkan budayanya, apalagi mendewa-dewakan budaya bangsa lain. Mereka bangga dengan budaya yang mereka miliki.
Contohnya pendapat Datin Marina Mahathir putri mantan Perdana Menteri Mahathir (yang mendapat julukan “Soekarno Kecil”) senada dengan puisi Ibu Sukmawati, malah lebih tajam dan keras. Datin Marina mempertanyakan hilangnya warna warni indah busana tradisi “baju melayu” di acara2 Hari besar atau Hari raya Islam, yang sekarang didominan busana budaya dari Arab yang disebut sebagai pengaruh “penjajah baru“.. Colonial Arab.
Ibu Sukmawati, seorang pejuang perempuan Indonesia yang cerdas berpolitik melalui sastra, bukan dengan kritikan-kritikan yang kasar dan tidak obyektif.
Saat ini yang terjadi adalah Indonesia mengalami titik puncak di mana Gerakan Islam mengambil peran dominan dalam dinamika sosial dan politik hari ini.
Sejak Soeharto memberi angin segar untuk Islam, Islam sendiri terpecah dalam banyak kelompok yang saling bermusuhan. Islam yang mayoritas terus didominasi dan dipengaruhi kelompok radikal, berkolusi dengan partai politik tertentu, dan para pengusaha.
Baca Juga: Puisi Sukmawati Gerakan Keadilan budaya
Kita tidak bisa mengatakan, gerakan mereka murni perjuangan agama atau moral. Tetapi perjuangan mereka adalah perjuangan politik.
Pada titik ini saya bisa katakan bahwa memang goalnya: menjadikan negara Islam. Hukum Islam yang dipakai sebagai hukum negara. Pancasila sebagai ideologi diganti.
Inikan yang diperjuangkan sejak dulu, bahkan sebelum merdeka, dalam piagam Jakarta misalnya. Jadi, Indonesia sebetulnya dalam tegangan yang konstan, yang juga mungkin tidak akan terselesaikan.
Antagonisme akan selalu ada, pengungkitnya saja yang berbeda. Kalau dulu Pak Ahok, sekarang Ibu Sukmawati. Tetapi yang paling penting adalah kemampuan kita dalam bernegosiasi dengan mereka, mentransformasi antagonisme (relasi teman-musuh) yang bisa berujung pada eksklusi atau pembinasaan suatu pihak menjadi relasi afversari (kawan-lawan).
Dasarnya, adalah kedua pihak merupakan saling beroposisi. Oposisi merupakan status yang sah atau legitimate dlm Politik.
Secara ontologis, lawan menjadi constitutive of outside, dia yang turut membentuk kita, mendefinisikan siapa kita, dan kita pun demikian terhadap mereka.
Bercermin dari kasus Ahok yang saya amati adalah pemegang kekuasaan jatuh dalam prinsip pragmatis, contohnya : lebih baik Ahok dikorbankan daripada terjadi ketidakstabilan politik yang berujung pada kerugian ekonomi, kekerasan, dan jatuhnya rezim.
Politik pada hakikatnya berkarakter konfliktual .( yang saya takutkan cuci tangan ini dapat terjadi pada kasus apapun ).
Apa yang terjadi dengan Ahok menunjukkan paradoks demokrasi liberal. Demokrasi liberal menjunjung tinggi hukum.
Karena itu Ahok dituntut secara hukum. Meskipun Ahok tidak bermasalah, tetapi ia dihukum bukan karena permasalahannya murni hukum, tetapi persoalan politik.
Porsi politiknya lebih kuat malah. Memang persoalan itu tidak bisa diselesaikan secara hukum saja, tetapi juga secara politik.
Saya pikir, keputusan memenjarakan Ahok lebih merupakan bagian dari negosiasi politik.
Apa yang terjadi hari ini bisa bercermin dari kasus ahok.
Sama halnya dengan kasus ibu Sukmawati. Dia dituntut secara hukum, meskipun kasusnya beraroma Politik.
Persoalan dilema demokrasi liberal: apakah semua masalah mesti diselesaikan secara hukum?
Persoalan ini bukan murni persoalan hukum, tetapi persoalan politik. Konteksnya adalah terjadinya dinamika sosial politik yang kompleks yang menunjukkan bangkitnya pembelaan dengan atas nama agama, sekaligus fragmentasi pada agama tertentu yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan bersama sebagai NKRI.
Apalagi dalam situasi saat ini, bagaimanapun situasi Pilkada pada wilayah Jatim, Jateng, dan Jabar serta SumUt menjadi taruhan, dan harus dimenangkan, karena 4 provinsi ini punya voters yang sangat banyak dan menentukan di Pemilu dan Pilpres 2019.
Jadi, ada sasaran terdekat, dan ada juga sasaran terjauh, yang diboncengkan pada pergerakan demo puisi Sukmawati.
Persoalan ini jelas bukan murni persoalan hukum, tetapi persoalan politik. Konteksnya adalah terjadinya dinamika sosial politik yang kompleks yang menunjukkan bangkitnya pembelaan atas nama agama, sekaligus fragmentasi agama tertentu yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan bersama sebagai NKRI.
Bagi saya, terfragmentasinya masyarakat dan terbelah oleh upaya sektarian, menjadi kegagalan dalam mengemban agenda bersama yaitu membangun bangsa, maka menjadi persoalan besar bagi bangsa kita.
Sebab itu persatuan elit-elit politik dalam naungan payung Pancasila sangat diharapkan. Bukan malah dengan suka-suka menuding elit politik lawan yang belum bertobat.
Parpol punya potensi itu, demikian juga para intelektual dan semua yang lain.
Tinggal diusahakan terus. Sebab Pancasila sebagai ideologi yang terbuka. Artinya, menjadi kerangka besar untuk panduan praktik politik.
Konteks situasi sekarang sangat menentukan, bagaimana pihak pelapor menjatuhkan lawan politik dengan mengaduk-aduk emosi massa serta mempermasalahkan puisi yang dibuat oleh Sukmawati.
Sesuatu yang mungkin tidak pernah dibayangkan Sukmawati saat membaca puisinya.
Apapun sebagai seorang pejuang sejati, lebih terhormat dipenjarakan karena kebenaran perjuangan dari pada bangsa ini hancur berkeping-keping oleh ulah penghianat bangsa dan negara.
*Opini ini tanggung jawab Penulis, bukan redaksi SerikatNews
Menyukai ini:
Suka Memuat...