Kisah-kisahTapol Mereka yang Tanpa Mengerti Apa G30S 1965. Tanpa Proses Peradilan Di Hukum Puluhan Tahun
Laporan Serikat News
Senin, 2 Oktober 2017 - 13:32 WIB
Foto: Utati
Foto: Utati
Oleh: Mang Uu
Oktober 1965 ketika Utati sedang mengajar, tiba-tiba Kepala Sekolah memanggilnya dan memberi surat pemecatan. Tak ada penjelasan, namun Utati menduga hal itu ada hubungannya dengan penculikan para jendral beberapa hari yang lalu. Dan benar saja, di bulan Februari 1967, di tengah malam saat hujan deras, serombongan tentara mengepung rumahnya. Ia dibawa ke kantor tentara, ditahan di penjara Bukit Duri. Siang malam ia dicecar dan dihajar perihal tuduhan keterlibatannya dalam peristiwa lubang buaya.
Pedih akibat pukulan bisa hilang dalam hitungan hari, namun tidak dengan trauma akibat tentara hendak menelanjanginya. “Saya muter-muter keliling meja, menangis, takut sekali”. Bibirnya bergetar, fisiknya sudah disiksa dan dipenjara, tapi ia menolak mentalnya diruntuhkan paksa.
Sebelas tahun ia dipenjara tanpa proses pengadilan. Ketika keluar dari penjara Bukit Duri tahun 1978, ia menikah dengan Koesalah Soebagyo Toer, sesama tahanan politik yang baru bebas dari Rutan Salemba. Mereka dikaruniai dua orang anak dan tinggal di rumah yang berada di gang sempit di Depok, Jawa Barat. Utati enggan merutuki nasibnya. “Setidaknya saya sudah berusaha menjadi apa yang saya cita-citakan, yaitu menjadi seorang guru….”.
Utati menyanyi bersama paduan suara Dialita, paduan suara yang terdiri dari ibu-ibu eks tapol 65 bersama keluarganya dan para aktivis. Lagu-lagu yang dinyanyikan itu berdasarkan cerita hidupnya dan juga teman-temannya yang dipindahkan ke kamp tahanan Platungan. “Saya ingin sejarah kami diketahui banyak orang”.
Utati lahir di Purworejo tahun 1944
SETIAP tanggal 1 Oktober, warga Indonesia merayakan Hari Kesaktian Pancasila. Ini adalah momen bersejarah yang mengingatkan pada kekuatan ideologi dasar
Oleh: Aliya (Wasekum Bidang Eksternal Kohati HMI Komisariat Lancaran, Guluk-Guluk, Sumenep) SEJAK dibentuknya Korps HMI-Wati (Kohati) sebagai lembaga semi otonom
Pendahuluan Pada masa pemilihan pemimpin negara, masyarakat memang terlarut dalam euforia pesta rakyat. Saling menjatuhkan dan mengolok-olok, dengan strategi ad
WARTAWAN bernama Erfandi itu dikeroyok sampai bonyok, dibanting, diseret, dirampas barang-barangnya, dompet maupun handphone, dan dipaksa merayap di tanah. Selain
MENJELANG pemilu 2024, rakyat Indonesia akan menghadapi pesta demokrasi kesekian kalinya untuk memilih para calon pemimpin, mulai dari tingkat Presiden