Judul Buku: Kritik Nalar Fikih NU
Pengarang: Muhammad Adib
Penerbit: Kiri Sufi
Tahun Terbit: Desember, 2018
Halaman: 334
ISBN: 978-602-51458-9-6
Peresensi: Ahmad Dahri
NU dan Fi’il Mudlari’
Berangkat dari pemahaman bahwa “Nahdlatul Ulama berlandaskan aswaja dalam pengambilan hukum” maka perlu kiranya mengenal lebih mendalam bagaimana proses perkembangan istimbath hukum dalam NU. Salah satu proses istimbath hukum dalam NU adalah Bahtsul masa’il, di mana konsep Wa Syawirhum fi al amri yang menjadi kerangka substansialnya. Seiring berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan—pun teknologi, maka perkembangan dalam proses istimbath hukum adalah bentuk keniscayaan. Buku Kritik Nalar Fikih Nahdlatul Ulama yang ditulis oleh Muhammad Adib yang lebih akrab dengan panggilan Gus Adib menjelaskan bahwa adanya polarisasi yang membentuk relasi diskursif yang bersumbu pada tradisi bermazhab dan otoritas teks kitab kuning dalam bahtsul masa’il di satu sisi dan isu pembaharuan metodologi istinbat di sisi lain (hal. 7).
Relasi diskursif yang berkembang tidak hanya di kalangan NU sendiri, melainkan pengamat eksternal yang juga memiliki keeratan dalam memandang NU. Sehingga ketika muncul pembaharuan metodologis dalam bahtsul masa’il tidak sedikit yang menentang pun tidak jarang pula yang beranggapan perlu adanya pembaharuan. Dalam aspek prinsip pembacaan misalnya, bahwa relasi di balik teks tidak selalu merefleksikan “fakta sebenarnya” dan pembacaan juga harus melibatkan realitas yang tak terbaca (hal. 12). Meninjau pendekatan Fazlur Rahman tentang konsep Doble Movement dalam teori interpretasinya, maka bukan hanya kontekstualitas semata yang dibutuhkan, melainkan adanya pendekatan yang verbal antar teks yang terbaca dan peristiwa yang tidak terbaca.
Sejalan dengan itu, tradisi bermazhab dalam tradisi NU merupakan basis sistem nilai yang memuat ragam prinsip dan doktrin bagi seluruh aspek kehidupan sosial keagamaan, kemasyarakatan dan kebangsaan. Hal ini disinggung dalam buku ini dengan alasan bahwa sejumlah peneliti atau sarjana muslim mengatakan bahwa tradisi keberagamaan NU sebagai representasi dari Islam ortodoks (ortodox Islam): sekalipun penyebutan tersebut masih problematik, terutama juga dikaitkan dengan begitu beragamnya pemikiran dalam Islam (hal. 33). Ungkapan KH. Achmad Siddiq menjadi Jawaban atas tuduhan sarjana muslim di atas, bahwa “NU adalah organisasi dan komunitas penerus perjuangan Nabi, sekaligus pembaru (mujaddid) dalam prinsip berpikir yang selaras dengan ajaran Islam yang berhaluan ahl assunnah wa al jamaah” (hal. 35).
Pembaharuan metodologi bahstul masa’il setidaknya menciptakan korelasi antara ijtihad dan sublimasi hukum Islam dalam tradisi NU, yakni selain Alquran dan Hadis pun ada konsep ijma’ dan qiyas. Sehingga bukan perihal ijtihad atau taqlid yang menjadi permasalahan substansialnya, melainkan proses ijtihad tanpa lepas dari bertaqlid. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan KH. Muchit Muzadi, dalam buku bahwa “pada masa sekarang susah dijumpai orang yang mampu berijtihad tanpa bertaqlid, orang yang mampu berijtihad pun sebetulnya mengikuti pola dan prosedur ijtihad yang dirumuskan oleh ulama’ terdahulu (hal. 50). Walaupun demikian penulis ingin mengulik secara mendalam bahwa masih ada ruang kosong di antara ijtihad dan taqlid, yaitu “berpikir kreatif dan kritis” (hal.50).
Berpikir kreatif dan kritis dalam tradisi NU mengedepankan aspek kemanusiaan. Bukan hanya dalam konteks kehidupan sosial semata, melainkan dalam konteks kehidupan keberagamaan dan kemajemukan pola pikir. Indikasi ini menjadi satu kecenderungan eklektik, di mana mulai dari isu konsep negara, isu zakat bagi lembaga sosial, pun konsep hubungan keberagaman agama, budaya dan ras.
Tradisi Berpikir Walisongo
Walisongo atau organisasi Islam yang bertujuan menyebarkan Islam di Jawa melihat bahwa kondisi melemahnya Majapahit menjadi salah satu keuntungan untuk melancarkan konsolidasi sosial politik di wilayah pesisir utara, di sisi lain Walisongo melihat bahwa watak kultural masyarakat Jawa yang cenderung toleran terhadap kultur lain. Hal ini dibuktikan dengan penerimaan Hindu-Budha sebagai agama di abad ke-1. Dengan kata lain Walisongo menggunakan analisis sosial dalam melancarkan dakwah mereka. Strategi kebudayaan Walisongo mengakumulasi secara simultan empat pilar sekaligus yakni pengetahuan, politik, ekonomi, dan budaya (hal. 132).
Dengan kata lain, tradisi berpikir Walisongo memiliki peranan penting dalam Islamisasi di pulau Jawa. Analisis sosial dan peran dakwah Walisongo bertumpu pada nalar fikih sufistik yang mana merupakan manifes dari pemikiran Abu Hamid Al Ghazali dua abad sebelumnya. Sehingga menjadi satu kombinasi antara nilai-nilai sufistik, prinsip maslahah dan kepekaan terhadap realitas sosial–budaya. Dalam hal ini kembali kepada konsep kontekstualitas, atau bukan hanya membaca teks dan realitas saat itu, melainkan membaca teks secara mendalam yang dikaitkan dengan kondisi kepekaan sosial–budayanya.
Untuk menjaga keberlangsungan pola pikir nalar kritis, Walisongo mewariskan secara turun temurun melalui pesantren. Di mana pesantren berbagi peran dengan kerajaan-kerajaan Islam sebagai kekuatan dwitunggal dalam konteks penyebaran Islam dan pembentukan tatanan sosial budaya masyarakat Jawa (hal. 157).
Reformulasi konsep Bermadzhab NU
Nalar fikih Islam yang berkembang di Jawa sebelum kolonialisme belanda datang adalah nalar fikih yang mengedepankan aspek kepekaan terhadap sosial–budaya lokal. Dengan maksud adanya relasi yang dibangun antar kontinuitas tradisi dan sumber keilmuan (Kitab Kuning). Oleh karenanya akan menjadi sangat penting ketika pesantren yang menjadi satu ruang kaderisasi NU khususnya di dalam bahtsul masa’il harus ada reformulasi kurikulum.
Hal ini dibutuhkan karena NU mewakili kontekstualisasi sumber ilmu atau sumber hukum (kitab kuning) dengan kepekaan terhadap sosial–budaya Nusantara. Oleh sebab itu, nalar kritis Walisongo dalam buku ini dijelaskan menjadi dua hal yang memadukan antara kreativitas pemikiran Timur Tengah dengan lokalitas dan kultur yang terbuka di Jawa. Kiai-kiai NU meneruskan kreativitas berpikir tersebut sehingga menghasilkan konsep nalar fikih NU yang mengubah bentuk mazhab berbasis ormas melalui bahtsul masail, sehingga nalar fikih NU memiliki kontribusi pula terhadap peta pemikiran Ushul Fikih (hal. 284).
Buku Kritik Nalar Fikih NU dengan penulisnya Gus Adib melihat bahwa ada hal yang perlu untuk ditinjau–kembangkan. Reformulasi kurikulum pesantren dan problem epistemik antara keberlangsungan tradisi Islam NU dan perkembangan masyarakat. Ia melihat bahwa perlu adanya perubahan grand design kerangka metodologi istinbath. Sehingga menjadi penting untuk menggunakan pendekatan multidisipliner dan sistem kerja kolektif dan kerangka analisis masalah (hal. 287).
Pesantren adalah ruang penting kaderisasi NU, di mana kurikulum pendidikan akan mempengaruhi terhadap daya pikir dan daya olah para santri. Jika cita-citanya adalah meneruskan perjuangan Nabi atau Walisongo, maka ada tuntutan kepekaan terhadap aspek mendasar hubungan kemanusiaan, yaitu aspek sosial–budaya. Bahstul masail adalah ruang diskursif–development, yang menjadi wadah atas tumbuh kembangnya siklus penentuan hukum dalam tradisi NU. Seperti yang disampaikan di akhir kesimpulan buku ini bahwa “muara dari eksperimentasi pembaruan di atas adalah terwujudnya bahtsul masail yang bersifat multidisipliner dan berorientasi pengembangan jangka panjang.”
Sedang Nyantri di Bayt Al-Karim Gondanglegi dan Bayt Al-Hikmah Kepanjen Malang
Menyukai ini:
Suka Memuat...