Musim panas yang cerah dan hangat. Seorang remaja Yahudi, George Koves bangun pagi dan naik bus untuk bekerja. Di tengah perjalanan, polisi mencegat dan memeriksa remaja dengan bintang kuning pada pakaiannya. Peristiwa inilah yang mengawali kekejaman Nazi terhadap remaja itu. Tentara Nazi lalu menggiringnya ke kandang kuda untuk dikurung bersama seluruh kelompok Yahudi.
Dahaga tak tertahankan saat mereka diangkut menggunakan kereta api menuju Auschwitz, kamp konsentrasi Nazi Jerman. Selamat datang para tahanan berseragam garis-garis. Kawat berduri mengurung Auschwitz. Jangan harap tahanan bisa lepas dari kamp neraka.Penyiksaan-penyiksaan tanpa ampun dialami tahanan. Satu per satu tewas.
Batas hidup dan mati menjadi kabur. Makanan dan minuman dijatah. Tentara Nazi kapanpun bisa mencabut nyawa setiap tahanan yang melawan. Tahanan dipaksa bekerja. Yang tak berguna disingkirkan, dibunuh.
Imre Kertezs, seorang Yahudi kelahiran Budapest Hongaria memotret kegetiran Yahudi selama berada di kamp konsentrasi lewat novelnya “Fateless”. Novel ini mirip autobiografis penulisnya. Peraih Nobel Sastra 2003 ini mengaduk-aduk emosi pembacanya dengan kekejian Nazi.
Tapi di sela-sela kekejaman itu, Imre memberikan secercah harapan untuk hidup seorang manusia. George Koves digambarkan berusaha bertahan hidup. Dengan luka yang parah karena kekejian tentara Nazi, George tetap bertahan. Dokter di kamp membantunya. Dia selamat.
Saya suka bagian penghujung cerita. Seorang pria berpakain gaya musim panas, bercelana panjang bertanya kepada George Koves apakah ia pernah melihat kamar gas kamp konsentrasi? Dia menjawab, jika ia pernah melihat kamar gas itu, maka percakapan dengannya tak pernah ada. Lelaki itu terus mendesak Geroge soal kamar gas.
George bergegas pulang menemui keluarganya. Paman dan kerabatnya menyambut dengan penuh suka cita. Ada yang bilang bahwa menjadi Yahudi adalah takdir yang tak bisa dihindari. Takdir Yahudi adalah dihabisi Nazi.
Tapi George menolak anggapan menjadi Yahudi sebagai takdir. Sebagai orang yang bukan Yahudi taat, George tak percaya takdir. Menjadi Yahudi bukan dosa. “Kita hanya harus menyadarinya dengan segala kerendahan hati demi kehormatan kita sendiri. Mereka (Nazi) harus berusaha memahami bahwa mereka tidak bisa merenggut segalanya dariku meskipun aku menjadi korban atau pihak yang kalah. Aku tak bisa begitu saja menelan kenyataan pahit dan konyol agar menjadi polos kembali,” kata George.
Dia bilang tidak akan pernah bisa memulai hidup baru, hanya bisa melanjutkan yang sudah ada.Waktu membantu segalanya.
Dia mengenang masa-masa di kamp konsentrasi. Dalam bayang-bayang cerobong asap, di sela rasa sakit, ada sesuatu yang mirip kebahagiaan. Dia mengingat dokter dan kawan-kawannya yang membantunya selama dikurung di Auschwitz. Semua orang akan bertanya tentang kengerian kamp-kamp itu. Tapi, bagiku kebahagiaan di sana mungkin menjadi pengalaman paling berkesan.
Dari Imre Kertesz, kita bisa belajar bagaimana kesedihan dan kegembiraan ada dalam sebuah tragedi. Seorang remaja bertahan di tengah situasi yang mengerikan. Tak ada yang mustahil. Harapan hidup yang dirawat di tengah pembantaian massal umat manusia.
Aktif menulis di Tempo, AJI Yogyakarta, Vice, dan ragam isu lainnya. Meliput pemilu di Myanmar (2015), Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations Framework Convention on Climate Change) di Peru, Amerika Latin (2014).
Menyukai ini:
Suka Memuat...