Perjalanan spiritual katamu?
Aku sudah mendaki 7 gunung yang kaubilang akan menenangkan hatiku yang sedang gundah.
Pendakian Sumbing malam itu hampir mencelakakanku.
Tak kusangka treknya sangat curam, dan energiku sudah habis setelah Slamet dan Sindoro.
Misi yang muluk-muluk memang, tetapi itu semua kulakukan demi menentukan pilihan. Kau, dia, atau tunanganku.
Ia baca lagi e-mail yang akan ia kirimkan ke Bintang, sahabat yang akibat pelarian terhadap Rendi, tunangannya akhirnya menjadi kekasih gelap. Pernikahannya tinggal menghitung bulan seiring cinta satu malamnya dengan Josh yang ternyata berubah serius. Bukan persoalan mudah untuk memilih dari ketiga lelaki yang tak ada kemiripan kepribadian satu dan yang lainnya itu.
“Lara, kamu nggak kawin-kawin kalau nyari yang sempurna,” kata Miranda sambil menempelkan pembatas buku di chapter terakhir novel Lauren Weisberger terbaru, The Wives.
“Dip into an irresistible cocktail of sex, lies and scandal? Hhmm wish I could do that,” seolah tak mendengar ucapan sahabatnya, Lara membaca review novel bersampul pink itu.
“Lara, kamu harus tetapkan satu,” Miranda meraih kembali bukunya dari tangan Lara.
“Ohhh, Mir, aku bukannya tak berusaha untuk menentukan satu. Susah, Mir, susah,” Lara menghempaskan dirinya ke sofa. Tubuhnya luruh dimakan letih.
“Trus, rencana selanjutmu apa? Kamu pikir dengan naik 7 gunung itu kemudian dapat wangsit? Bisa nentuin pilihan? Aku hampir saja terbang ke Jogja buat jemput paksa kamu,” lanjut Miranda.
“Iya, maaf aku salah, terlalu maksa. Di gunung aku lihat bintang, Mir, kelap-kelip, seolah mengajakku berdialog. Aku bisa jelas lihat Milky Way, aku tiduran menatap langit yang teduh dan tak berbatas itu. Aku berpikir mungkinkah Bintang jawabannya? Idenya membuatku mendaki 7 gunung rupanya berhasil. Aku akan memilihnya. Aku lega, ingin memeluknya saat itu juga. Tetapi, kemudian kabut datang menyapu pandanganku. Wajahku dingin, air mataku menetes, bukan karena menangis, tetapi karena pedas oleh kabut yang semakin pekat dan dingin yang semakin menusuk tulang. Pak Pitut, setengah menyeretku kembali ke tenda. Di situ aku tersadar. Bukan, bukan Bintang jawabannya, karena kemudian ia tak tampak lagi.”
Miranda terharu mendengar cerita Lara. Lara yang ia kenal sejak sekolah dasar. Lara yang selalu mengejar semua impiannya. Lara yang hidup tanpa pagar.
“Mir, mungkin saja jodohku bukan satu pun dari mereka.”
“Oh, Lara, please.”
“Mir. Aku baru ingat. Malam itu di Prau bukan Pak Pitut yang menyeretku masuk ke tenda.”
“Maksud kamu?”
“Yang lain sudah tidur semua. Besok paginya tidak ada yang tahu. Tetapi, aku ingat aroma jaket orang yang menyeretku itu. Aroma pinus, segar. Aku harus kembali ke sana. Aku harus dapat identitasnya. Mungkin dia jodohku.”
“Aduh sinting kamu!”
***
Dua minggu berlalu.
“Mir, namanya Jamie. Umurnya 35. Lulusan Stanford. Kerja di bursa efek. Single. Bintangnya skorpio. Rumahnya di Duren Sawit, dia …,” Lara menatap wajah sahabatnya yang tengah mendengarnya penuh saksama. “Dia baru saja meninggal, Mir. Karena jantung.”
“Ohhh Honey. I’m so sorry to hear that.”
“Don’t you see it, Mir? Jodohku sebenarnya masih di luar sana.”
“Ooh, Lara …”
Bintang,
Kaubilang gunung akan membiarkan pikiranku mengembara, tinggi, kemudian bersemayam di sebuah ranting. Gunung kaubilang akan membuatku besar hati, seperti pohon-pohon akasia di sepanjang tanjakan Gunung Prau yang membiarkan akar-akarnya menjalar penuh kemegahan menjadikannya tangga untuk didaki hingga puncak. Kenyataannya gunung membuat pikiranku semakin liar tak bertuan. Kini aku merasa tak perlu pusing lagi untuk memilih antara kau, Rendi, atau Josh.
Ia tekan tombol send dan perlahan menutup Macbook-nya disertai napas panjang. Merebahkan diri di ranjang. Ia ambil handphone dan menulis pesan …
Yth. Ibu.
Maafkan Lara. Lara akan batalkan pertunangan dengan Rendi. Lara tak cinta lagi. Atau mungkin, tak pernah cintai Rendi, begitu pun sebaliknya. Percayalah, Bu, tanpa Rendi mengucapkannya, Lara tahu. Di perjalanan kami ke Bangkok beberapa waktu lalu membuat yang abu-abu itu menjadi terang seperti purnama. Maafkan Lara, Ibu ….
Lara,
Satu yang belum kausadari. Gunung menyadarkanmu akan arti kesetiaan. Setia kepada bumi, berani seperti matahari. Selamat, Sayang, kau telah menemukan siapa dan apa yang sesungguhnya kau mau.
Bintang tersenyum lega, campur bangga. Semoga e-mail balasannya itu akan cukup menenangkan Lara dan satu saat nanti, membuatnya memilih dirinya.
“Trus, Joshua bagaimana?” Mira yang masih menyesalkan keputusan Lara membatalkan pertunangannya dengan Rendi mencoba memperkecil probabilitas pengembaraan yang tengah dijalani Lara.
“Josh ke Indo 3 bulan sekali. Kami tak pernah bahas pernikahan. Dia pernah gagal. Perhitungannya pasti lebih matang untuk ngawinin aku.”
“Cinta kau sama dia?”
“Mmm, mungkin. Aku sudah tak mau mikir lagi, aku ini punya siapa?”
Seseorang mengetuk pintu rumah Lara. Kiriman paket belanja perlengkapan naik gunung yang ia pesan telah tiba. Dicobanya semua, bak seorang model yang beralih profesi sebagai professional hiker. Mira tersenyum geli melihat kelakuan Lara. Gunung memanggilnya. Ia lantas berkemas. Terhadap pertanyaan besarnya selama ini, ia telah temukan jawabannya ….
Penulis adalah News Presenter BeritaSatuTV dan Tenaga Ahli DPR RI, Jakarta
Mahasiswi Program Doktor Ilmu Kriminologi UI
Baru-baru ini meluncurkan buku Kumpulan Cerpen; Apple Strudel
Chat Nastiti untuk informasi lebih lanjut melalui Twitter/Instagram @nastitislestari
Menyukai ini:
Suka Memuat...