Oleh: M. Faizi
Ada pepatah lawas yang bilang, “Kalau atap bocor, cukup tambal—jangan malah robohkan rumahnya.” Tapi tampaknya, Rektor UNIBA Madura, Rachmat Hidayat, memilih pendekatan yang lebih teatrikal. Alih-alih meredam isu pernikahan diam-diamnya dengan klarifikasi yang tenang, beliau justru dikabarkan berancang-ancang akan menggugat media yang memberitakan dugaan tersebut. Ini seperti orang kepeleset di jalan licin, lalu bukannya bangkit dan merapikan diri, malah menyalahkan hujan yang turun.
Pak Rektor UNIBA Madura, Rachmat Hidayat, tampaknya ingin bermain api sambil berdiri di tengah hujan bensin. Isunya belum benderang—soal nikah diam-diam, soal dugaan melanggar etika akademik, soal ancaman pemecatan—tapi beliau sudah pasang kuda-kuda untuk melaporkan media.
Strategi ini, kalau boleh dibilang, seperti gertak sambal yang kepedasannya belum tentu bertaji. Masalahnya bukan sekadar soal siapa yang benar atau salah, tapi soal momentum. Pak Rektor mau maju perang hukum, sementara kabut di kasusnya sendiri masih tebal. Logikanya, kalau pondasi rumah sendiri belum kokoh, menantang badai justru bikin genteng beterbangan.
Media yang dikabarkan akan dilaporkan ini bukan anak baru di dunia jurnalistik. Mereka sudah kenyang menghadapi pejabat yang tak suka diberitakan. Alih-alih takut, mereka justru bisa makin semangat menguliti kasus ini sampai ke akar-akarnya. Efek Streisand? Sudah pasti.
Karena begini, isu ini beredar cukup mendidih: sang rektor diduga menikah diam-diam dengan dua perempuan lain, yang menurut Lembaga Bantuan Hukum Forum Pembela Keadilan dan Orang-orang Tertindas (LBH-FORpKOT) dianggap melanggar etika akademik dan aturan kepegawaian. Bukannya segera memberikan klarifikasi yang masuk akal dan menenangkan, Pak Rektor justru memilih langkah yang bisa berakibat fatal: menggugat media.
Sekarang, mari kita bicara logika. Melaporkan media karena mengungkap skandal ibarat menembak utusan yang membawa kabar buruk. Bukannya kabarnya hilang, justru makin tersebar luas. Media itu bukan mahasiswa yang bisa ditegur dengan SK Rektor, tapi entitas yang justru hidup dari kontroversi. Semakin ditekan, semakin menjadi-jadi.
Ada juga efek Streisand yang harus diperhitungkan. Ini fenomena di mana seseorang mencoba menyembunyikan informasi, tapi malah bikin informasi itu semakin viral. Contohnya ketika seorang artis menggugat media yang menuduhnya operasi plastik, mendadak netizen jadi lebih rajin membedah foto-fotonya sejak SD. Hasilnya? Bukan cuma wajahnya yang dibahas, tapi juga alis, bibir, bahkan struktur tulang pipinya.
Kasus Pak Rektor ini mirip. Awalnya, berita soal dugaan nikah diam-diam mungkin cuma jadi obrolan warung kopi. Tapi begitu ada ancaman hukum terhadap media, mendadak semua orang jadi penasaran. Ada apa sih? Kenapa reaksinya segitunya? Jangan-jangan memang ada yang disembunyikan? Bukannya meredam isu, justru bikin semua mata tertuju ke UNIBA Madura.
Sementara itu, Herman Wahyudi dari LBH-FORpKOT malah makin gencar ingin melaporkan Pak Rektor ke Kemenpan RB dan Kemenristek Dikti dengan alasan menjaga marwah pendidikan. Herman menegaskan bahwa dugaan nikah diam-diam ini bukan cuma urusan privat, tapi juga berpotensi melanggar kode etik akademik.
Sekarang kita lihat situasinya: satu pihak sibuk menyangkal dan mengancam media, sementara pihak lain makin agresif mengumpulkan bukti. Publik? Mereka justru makin tertarik. Ini seperti menonton sinetron yang sedang seru-serunya, dan tiba-tiba ada pengumuman “besok tayang episode spesial lebih panjang!”
Pak Rektor seharusnya tahu, dunia akademik bukan sekadar soal jabatan, tapi juga tentang teladan. Jika tuduhan ini tidak benar, cara terbaik bukanlah dengan melaporkan media, melainkan dengan memberikan klarifikasi yang logis dan terbuka. Transparansi lebih berharga daripada ancaman hukum yang justru menciptakan asumsi baru.
Jadi, Pak Rektor, daripada sibuk membawa masalah ini ke ranah hukum, mungkin lebih baik duduk santai, buat konferensi pers, lalu buktikan bahwa semua tuduhan itu tidak berdasar. Kalau memang benar ada pernikahan diam-diam, ya sudah, akui saja dengan elegan. Jauh lebih baik ketimbang bermain kucing-kucingan dengan media, yang pada akhirnya justru bisa memperburuk situasi.
Karena kalau tidak, ini bukan hanya soal reputasi pribadi, tapi juga nama baik UNIBA Madura yang ikut terimbas. Dan kita semua tahu, membangun kredibilitas akademik itu butuh waktu bertahun-tahun—tapi menghancurkannya cukup dengan satu skandal yang salah kelola.
Jurnalis Serikat News Sumenep, Jawa Timur
Menyukai ini:
Suka Memuat...